Departemen Kesejahteraan Mahasiswa berharap dapat melakukan perubahan-perubahan yang tidak biasa, dengan melakukan “gebrakan” yang terbaik dari mahasiswa untuk mahasiswa. Demikian, kata – kata mutiara yang diusung untuk seluruh lembaga yang bernaungkan Kesejahteraan Mahasiswa di seluruh HMJ, DOP, dan LMF di ITS.
Pada tahun ajaran 2005-2006, jumlah mahasiswa ITS yang mengajukan keringanan SPP sekitar 98 orang. Dan pada tahun 2006-2007 jumlah ini meningkat lebih dari 50%. Tahun – tahun berikutnya pun mengalami peningkatan. Bahkan tahun 2009 ini ada sekitar 170 calon mahasiswa baru yang tidak bisa daftar ulang, salah satunya karena alasan financial. Inilah secuil realita tentang kondisi financial mahasiswa ITS.
“Keputusan kampus akhir-akhir ini yang tidak mengijinkan lagi mengajukan bantuan keringanan SPP semakin meresahkan mahasiswa tentang kelancaran studinya. Apakah bisa berlanjut ataukah sudah sampai disini, dan terpaksa cuti adalah jawabnya. Inilah polemik dan kami pun menyadari bahwa pihak kampus tidak selalu dapat membantu financial anak didiknya meskipun benar-benar membutuhkan.” Begitu kalimat yang saya kutip dari Menteri Kesejahteraan Mahasiswa BEM ITS 2008-2009.
Seiring berjalannya waktu, liburan semester yang panjang dan berliku telah usai. Bagi mahasiswa yang menghabiskan waktu liburnya di rumah, mungkin menjadi hal yang menyenangkan. Tapi bagi para ‘advocader’ (sebutan untuk orang yang melakukan advokasi), liburan panjang nan berliku ini mungkin jadi liburan yang “melelahkan” dan “menyimpan sejuta cerita” .
“Melelahkan” karena yang pasti merasakan lelah yang luar biasa, lelah fisik dan lelah batin (mungkin) disebabkan kekhawatiran yang berlebihan. Khawatir karena bertanya-tanya akankah semester depan, teman – teman yang sebelumnya bisa kuliah dengan lancar, tetap akan bisa kuliah dengan lancar, tanpa ada kendala financial maupun akademis? “Menyimpan sejuta cerita” karena banyak hal baru yang didapatkan dari perjalanan advocader di Kerajaan Birokrasi yang lagi-lagi berliku. Dua frase tadi mungkin belum cukup menggambarkan kondisi secara umum dari apa yang dikerjakan para advocader.
Dibalik jalan berliku itu, ada yang lebih gelap dan suram, sehingga harus meraba-raba untuk mendapatkan jalan keluar yang tepat. Kata gelap dan suram digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang diperjuangkan oleh advocader dalam kondisi yang serba tidak jelas dan tidak pasti, yang padahal, hal ini sangat berpengaruh pada masa depan si klien yang diperjuangkan itu. Ketika kondisi masih belum jelas dan belum pasti seperti ini, yang dilakukan memang cuma bisa “meraba”, yaitu memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang nantinya akan terjadi dan mencari alternatif penyelesaiannya.
Kondisi birokrasi yang membuat teman – teman advocader merasa banyak menghabiskan waktu sia-sia, karena harus menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari, kadangkala membuat mereka sempat hampir putus asa. Karena memang orang2 penting ini sangat sulit untuk ditemui. Dan ketika berhasil bertemu pun belum tentu akan langsung beres. Bisa jadi para advocader harus menghadapi ujian berat dulu, yaitu menjadi bola yang dilempar dengan seenaknya kesana kemari. Para petinggi itu tak akan begitu saja menerima dan dengan mudah membereskan setiap kasus yang kami ajukan. Bisa jadi dalam 1 kasus, kami bisa 10 kali lebih ke rektorat untuk menjadi bola yang dilmpar kesana kemari. Justru disinilah tantangannya.....
Secara moral, seorang advocader dituntut untuk selalu memberikan motivasi kepada si klien. Tapi ketika sang advocader sendiri sudah ada di titik jenuh dan merasa putus asa, otomatis hal ini akan mempengaruhi kondisi psikologis si klien yang dibantu. Ujung – ujungnya, sia – sia sudah usaha yang selama ini dilakukan untuk memperjuangkan nasib si klien. Dan hal seperti ini, harus sedapat mungkin untuk dihindari...
Dan untungnya, alhamdulillah,,teman – teman avocader Himasta, meskipun mungkin sempat mengalami hal tersebut, tapi seluruh perjalanan dapat diselesaikan dengan cukup baik. Yang paling menyenangkan adalah ketika melihat si klien, tersenyum puas karena sudah mendapatkan jalan keluar untuk permasalahan yang dihadapinya. Seperti yang sempat kami rasakan, ketika kami sempat membantu salah seorang angkatan 2009 untuk menyelesaikan masalah financial yang dihadapinya. Kami sempat pesimis, karena banyak kemungkinan – kemungkinan yang sulit untuk diestimasi, kondisinya memang benar – benar tidak menguntungkan.
Dari dosen Statistika, Bapak Ari Kismanto, Bapak Pembantu Dekan II, Bapak Kepala BAAK, Bapak Pembantu Rektor III, sampai akhirnya Bapak Pembantu Rektor II semua sudah sempat kami temui satu – satu. Dan itu semua tidak mudah serta membutuhkan proses yang amat panjang. Tapi akhir yang baik. Pada hari terakhir pendaftaran ulang, kami kembali ke rektorat pukul 6 sore untuk menemui Pak Sugeng (Bapak PR II).
Disana sepi, cuma tinggal beberapa mahasiswa lama yang mengurus masalah akademiknya. Setelah cukup lama menunggu, sekitar pukul 7, akhirnya pak Sugeng memanggil si klien untuk masuk ke ruangnya. Sekitar satu jam lebih, berdiskusi dengan pak Sugeng, alhamdulillah si klien keluar dengan senyum lebar yang artinya,, “fiuh akhirnya selesai juga mbak, saya tidak perlu khawatir lagi untuk bisa kuliah di ITS, bahkan bapak Sugeng memberi uang cuma – cuma untuk biaya SPP saya”.
Setelah banyak bercerita, kata – kata terakhir yang terucap adalah “terima kasih mbak, mas atas bantuannya selama ini, saya akhirnya bisa mewujudkan mimpi untuk kuliah di ITS”
Alangkah indahnya kata – kata itu,,,mungkin biasa ketika tidak memahami maknanya, makna atas perjalanan untuk mengadvokasi selama berhari – hari. Tapi, memang itulah kenyataannya. Sungguh bermakna karena hasil jerih payah sang advocader adalah untuk masa depan sang klien selanjutnya. Bagaimana jadinya jika sang advocader tidak pernah ada untuk mereka???
by :
Kesma HIMASTA ITS