Selamat Datang di Blog HIMASTA ITS

akses informasi yang semakin mudah tidak membuat HIMASTA ITS untuk lengah menghadapinya. blog ini hadir akan "hausnya" informasi mengenai kiprah HIMASTA ITS sekarang dan keinginan tulus kami untuk senantiasa berbagi pada warga dan stakeholders yang turut membangun HIMASTA ITS ini.
semoga ini akan menjadi media komunikasi yang baik dan bermanfaat bagi seluruh warga HIMASTA ITS khususnya dan Bangsa serta Negara Indonesia yang kucintai.

Selasa, 15 Desember 2009

Mengintip aktivitas mahasiswa di luar negeri yuk!

Bisa memasuki sebuah perguruan tinggi (PT) dan merasakan yang namanya kuliah barangkali menjadi impian sebagian besar anak muda yang baru saja “menanggalkan“ seragam sekolah SMA-nya. Mereka begitu mendambakan sebuah label yang namanya “mahasiswa“, sebuah atribut baru yang bisa memberikan kebanggaan tersendiri bagi siapa yang menyandangnya. Terlebih setelah kejadian 1998 silam, peran mahasiswa begitu nampak disana dan menjadikan sosok mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang patut diperhitungkan keberadaannya... Untuk mendapatkan atribut sebagai mahasiswa ini, berbagai macam cara dan usaha dilakukan, mulai dari harus datang ke bimbel dan melek-an tiap hari menjelang ujian, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berani bayar mahal (atau bahkan muuahal) setelah berbagai upaya gagal membuahkan hasil untuk bisa menyandang status mahasiswa.

Setelah pintu gerbang sebuah kampus benar-benar sudah terbuka untuk mereka, rupanya tantangan tidak berhenti di sana. Tantangan lebih berat telah siap menunggu di depan mata. Seorang mahasiswa baru mulai bertanya-tanya, “mahasiswa itu apa ya?” (lho kok...!), “siap tidak ya aku menjadi mahasiswa? Aku harus ngapain sekarang dan nanti sebagai mahasiswa?“...dan banyak lagi.. Berbagai pilihan sebagai tipe mahasiswa pun mau tidak mau harus di lakoninya, apakah akan menjadi mahasiswa yang sukanya mojok dengan buku sampai kacamatanya tebal, atau mau menjadi mahasiswa yang bisa teriak-teriak seperti di TV-TV itu (jago demo maksudnya), atau mungkin jadi mahasiswa yang plintat-plintut, kanan kiri oke alias suka ikut-ikutan bin mbebek... dan sebagainya sebagainya.. Tapi tetap, menjadi apapun itu adalah pilihan. Sebagai mahasiswa sudah seharusnya bisa merubah pola pikir menjadi lebih dewasa, tahu mana yang baik dan buruk, bisa memperhitungkan segala konsekuensi dari segala tindakan. 

Satu hal yang tidak kalah pentingnya, seorang mahasiswa baru akan mulai berinteraksi dengan kehidupan kampus termasuk dengan senior-seniornya di jurusan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas panjang lebar tentang bagaimana seorang mahasiswa bisa survive di kehidupan barunya, tetapi lebih pada memberikan wawasan baru yang sedikit beda tentang kehidupan kemahasiswaan di luar negeri. Sebagai contahnya adalah dua universitas LN, di Jerman dan di Canada. Harapannya, setelah membaca tulisan ini, kita bisa mengambil sisi positif dari apa yang akan diuraikan di sini. Lebih lanjut barangkali perlu untuk diketahui apa saja yang membedakan mereka dengan kita (mahasiswa di Indonesia). –process oriented-- , dan mereka bisa apa sih? –output oriented--. Dalam hal ini, perlu di garis bawahi bahwa proses yang beda tentunya akan memberikan output yang berbeda pula, tidak seperti matematika atau statistika, yang mana serangkaian data apabila diolah pake MINITAB atau SPSS hasilnya bisa sama.. (agak-agak tidak nyambung nih rupanya!)..

Well, kita mulai saja dengan mengintip mahasiswa-mahasiswa di Jerman. Content dari tulisan ini diambil berdasarkan pengamatan pada dua atau lebih universitas di sana, dan sangat mewakili kehidupan kemahasiswaan secara umum di Jerman. Jerman mempunyai sistem pendidikan yang berbeda dengan Indonesia (konteksnya adalah undergraduate level). Yang jelas, sistem pendidikan yang berbeda ini menjadikan aktivitas atau kehidupan kemahasiswaannya berbeda pula. Disana, seorang mahasiswa baru pada awalnya tidak langsung terkelompok ke dalam satu jurusan sebagaimana di kita. Yang ada adalah mereka terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas X, bukan di jurusan Y. Proses penjurusan dilakukan dibeberapa tahap akhir, dimana mahasiswa bebas menentukan pilihannya sendiri dengan hanya mengambil 4 atau 5 mata kuliah inti. Awalnya, begitu mereka diterima sebagai mahasiswa, mereka mengalami proses yang sama layaknya di Indonesia yaitu ada semacam pembekalan dari fakultas dan uni, yang beda adalah mahasiswa baru di sana tidak akan menemukan senior-seniornya “yang serem-serem”, atau harus datang ke kampus tiap weekend untuk “training mental”.. (pengkaderan jurusan maksudnya).

Dari personal atau karakter mahasiswanya sendiri sudah berbeda. Culture di mereka memang mendidik untuk menjadi pribadi yang mandiri. Sejak usia 17-18 tahun, mereka sudah dianggap dewasa oleh lingkungannya, tidak akan mau diatur-atur dan mengatur juga tentunya, oleh orang lain. Jangankan oleh senior yang menurut mereka orang lain, oleh orang tua sendiri mereka juga tidak mau (Note: ini fenomena umum, bukan semuanya). Tapi itulah kenyataannya..
Saat-saat mengikuti kuliah adalah saat untuk mengetahui siapa-siapa mahasiswa yang sedang berjalan di atas rel yang sama dengan mereka. Selebihnya “nichts“ dalam bahasa jerman, yang artinya kira-kira tidak ada sama sekali. Bagaimana tidak, karena tidak ada jurusan dan mahasiswanya juga cuek (atau mandiri ya), tentu tidak ada yang namanya HIMA jurusan (dan tentunya tidak ada yang namanya BCS (Bina Cinta Statistika) dan sejenisnya). Sekali lagi, mahasiswa baru tidak akan mau di atur-atur oleh seniornya, dan senior juga tidak merasa berkepentingan untuk mengatur atau peduli dengan mahasiswa baru, dengan pertimbangan bahwa mahasiswa baru itu sudah dianggap sebagai pribadi yang dewasa. Perlu diketahui, universitas-universitas di Jerman adalah intenational university yang mahasiswanya datang dari berbagai penjuru dunia. Bisa dibayangkan seandainya ada semacam BCS disana, pola seperti apa yang harus di jalankan? Mungkin kita yang di Indonesia sudah harus memikirkan juga masalah ini (yang katanya mau Go Internasional) , seandainya ada mahasiswa asing masuk jurusan kita, apakah BCS atau pengkaderannya masih akan tetap sama seperti itu (Red: jamannya penulis)?? Sepertinya ini hal kecil, tapi permasalahannya tidak akan sesederhana itu. Mahasiswa asing jauh-jauh datang untuk mencari tempat terbaik menuntut ilmu, mendambakan tempat dan suasana belajar yang nyaman, karakternya beda dengan kita, maka berapa probability-nya dia akan tetap bertahan di tempat kita seandainya harus mengikuti rangkaian acara pengkaderan seperti beberapa tahun lalu? (Disini sengaja tidak ditulis “seperti tahun ini” karena penulis tidak sepenuhnya tahu yang sedang berjalan sekarang seperti apa, bisa jadi tidak sama).
Terlepas dari itu semua, wadah bagi mereka yang ingin meyalurkan bakat ber-organisasi atau bakat-bakat yang lainnya tetap tersedia. Di sana tidak ada yang namanya BEM.. Yang ada adalah senat mahasiswa fakultas, yang mana posisi itu diisi oleh mahasiswa-mahasiswa yang over-talented dengan kemampuan berdiplomasi yang bagus, dan mereka dipilih langsung oleh mahasiswa-mahasiswa di lingkungan fakultasnya. Jika ada permasalahan yang sifatnya general dan melibatkan seluruh mahasiswa di universitas seperti boikot pembayaran SPP, mereka dari masing-masing fakultas akan berkumpul untuk membahas dan merumuskan semuanya. Memang disini ujung-unjungnya perannya seperti BEM di kampus-kampus Indonesia. Selebihnya, yang ada disana adalah perkumpulan mahasiswa untuk mengasah bakat, semacam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) kalau di ITS. Dan ini dikelola dengan sangat profeisonal sehingga benar-benar menunjang karir mahasiswa itu nantinya. Ambil contoh UK marketing untuk yang mau berlatih manajemen dan marketing, orang-orangnya sangat pro-aktif, sehingga bisa menjadi UK yang bisa diandalkan untuk menyelenggarakan event-event besar dan menghandle proyek perusahaan yang berhubungan dengan marketing. Kemudian IAESEC (kalau yang ini di beberapa PT di Indonesia ada juga) yang sangat hidup, bagi yang suka berinteraksi dengan mahasiswa asing (intercultural), dan masih banyak lagi... Tentunya keberhasilan mereka karena sangat didukung pula oleh pihak birokrasi fakultas dan universitas.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, mahasiswa-mahasiswa disana memang mandiri. Meraka sangat fleksible menentukan pilihannya. Ada yang memilih aktif di tempat-tempat tersebut di atas, ada yang lebih memilih menjadi Hiwi (asisten penelitian/asisten profesor). Kalau yang satu ini, bener-bener dipilih mahasiswa yang jagoan (dalam kelilmuan dan komunikasi). Tak jarang pula hiwi-hiwi itu adalah anggota senat mahasiswa juga. Walhasil, mahasiswa yang jadi hiwi relatif lebih mudah mendapatkan job setelah lulus. Ada mahasiswa yang sukanya party, duduk-duduk di cafe bareng teman-temannya, ada juga yang menyendiri seperti tidak punya teman, tapi jarang yang kelihatan suka mbebek atau tidak punya pendirian. Untuk mengisi liburan, tidak jarang mahasiswa yang melakukan internship (magang) di perusahaan-perusahaan dan ini sangat menguntungkan sekali buat mereka. Tidaklah menjadi hal sulit bagi mereka untuk mencari tempat internship. Lagi-lagi, ini karena dari pihak universitas/fakultas sangat proaktiv menjalin kerjasama dengan company dan pihak company sendiri sangat welcome terhadap mahasiswa yang mau belajar sesuatu yang baru. Jadi sinergi antara beberapa pihak perannya sangat penting.

Dari pengamatan penulis, satu hal yang sangat nampak pada mahasiswa di sana yaitu apabila datang musim ujian, kampus akan terlihat sangat sepi, hanya di beberapa sudut saja terlihat beberapa mahasiswa yang sedang konsentrasi penuh dengan bacaannya. Ya, pada saat ujian mahasiswa disana akan lebih banyak mengurung diri di kamar untuk konsentrasi penuh pada persiapan ujiannya, tak terkecuali yang biasanya nongkrong di cafe atau yang jadi hiwi... Hampir semua mahasiswa begitu... mereka hanya datang ke kampus untuk ujian kemudian pulang lagi bersiap-siap untuk besoknya...

Mahasiswa di sana juga terlihat mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Seperti tidak pernah ada nervous-nervousnya dalam hal apapun. Mau presentasi… mantep!! (Pakai pakaian ala eksekutif muda siap dengan laptopnya). Mau ngobrol sama profesor, siapa takut…!! Ceplas-ceplos saja (tapi bukan berarti tanpa adab), seringnya malah mahasiswa dan profesor makan siang bareng, ketemu di kantin, dan tidak ada gap sama sekali. Kita yang tidak terbiasa dengan culture seperti ini, akan sangat terheran-heran. Barangkali ini juga yang membedakan mereka dengan kita. Di kita, kalau ketemu dosen atau profesor... tahu sendiri tingkahnya mahasiswa seperti apa, ada yang menunduk malu, ada yang menunduk sopan, ada yang pura-pura tidak lihat, ada yang langsung action buka buku, macem-macem pokoknya.. Entahlah apakah ini kebiasaan yang bagus atau malah sebaliknya.

Kembali ke kehidupan kemahasiswaan di Jerman, semua universitas mempunyai satu biro namanya AstA (Der Allgemeine Studierenden Ausschuss). Biro ini berisi orang-orang universitas dan dibentuk khusus menangani masalah-masalah kemahasiswaan. Segala permasalahan yang ada di mahasiswa yang hubungannya dengan birokrasi universitas, akan dibicarakan dulu dengan AsTA. Namun, bukan berarti karena biro ini dibentuk oleh universitas, kemudian mereka akan selalu berpihak pada kepentingan uni. Tidak, di jerman segala sesuatu berjalan sesuai koridor dan profesional. Kalau memang ide atau tuntutan mahasiswa masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan, AstA siap membantu dan mendukung. Intinya, biro ini sangat netral keberadaannya. Sebagai contoh permasalahan boikot SPP di atas, peran AstA begitu besar demi kesuksesan tuntutan mahasiswa ini, yang mana mereka membantu menyiapkan flyer, mengkoordinir penyebaran dan pengumpulan kuisioner, dll. Barangkali juga karena negaranya sudah maju, permasalahan yang timbul di mahasiswa tidak sebanyak di kita, sehingga jarang sekali ada gesekan-gesekan antara birokrasi dengan mahasiswa.

Itulah kira-kira sekelumit gambaran kehidupan mahasiswa di Jerman. Nah, sekarang kita menyeberangi samudera Atlantik menuju salah satu universitas di Canada. Sebelumnya mohon maaf apabila informasi yang ada disini sangat terbatas, tidak lain karena keterbatasan pengetahuan penulis. 

Lain benua, lain pula polanya. Di Canada, yang notabene adalah bagian dari Benua Amerika, sistem pendidikannya hampir sama dengan di Indonesia. Ada yang namanya Fakultas yang di bawahnya terdiri dari jurusan-jurusan. Bisa ditebak, yang terjadi adalah terdapat kumpulan-kumpulan mahasiswa jurusan. Ini bisa dilihat dengan jelas di salah satu kampus, di depan pintu masuk gedung dimana ada beberapa gerombolan mahasiswa (yang sedang asyik diskusi dengan buku-buku berserakan di meja besar---ternyata mereka lagi belajar juga-----) dengan atribut mereka yang mencolok. Katakanlah mahasiswa Physics dengan kaos hijau kebanggaannya, mahasiswa chemie dengan kaos birunya, dan macam-macam. Tapi tetap, yang namanya orang barat tetap orang barat… sama cueknya dengan orang Jerman. Mereka tidak akan mau memaksa atau melakukan sesuatu untuk junior di jurusannya untuk bergabung dengan mereka, apalagi harus susah payah mikir agenda mingguan. Kalau mau silahkan datang dan ikut, kalau tidak ya silahkan juga....

Sementara penulis cukupkan sampai disini, mohon maaf sekali lagi kalau ceritanya sepertinya terputus. Bukan bermaksud apa-apa, penulis hanya tidak ingin memberikan gambaran yang tidak akurat karena sejauh ini hanya itu yang penulis tahu selama berada di Canada. Insyaallah akan disambung lagi begitu ada info baru terkumpul. Penulis kira uraian di ataspun sudah sukup panjang untuk kali ini.  

Semoga ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini. Perlu diingat, ini hanya gambaran sebagai wacana baru saja, bukan dimaksudkan untuk mengintervensi apa-apa yang sudah dan sedang teman-teman di Indonesia lakukan. Masing-masing punya cara sendiri untuk mencapai tujuan, dan selama semua dijalankan dengan ikhlas untuk kebaikan, InsyaALLAH hasilnya akan maksimal...

Sukses selalu buat semuanya di sana. Lakukan apa yang menurut teman-teman baik, singkirkan egoisme jauh-jauh… DAN tidak harus segala sesuatunya itu dilakukan sama persis dengan yang sudah-sudah. BERANI BEDA terkadang membuahkan hasil yang lebih baik… Bismillah dan barokallahu..


Dr. Heri Kuswanto
Postdoctoral Research Associate

Department of Mathematics and Statistics

Laval University, QC Canada






SEMARAK LKMM TD HIMASTA ITS 2009



Jam di handphone menunjukkan pukul 17.15 WIB, dibukalah acara yang paling ditungu – tunggu 29 Mahasiswa Statistika angkatan 2009 oleh Bapak Syahid Akbar selaku Kaprodi D3 Statistika. Acara tersebut adalah Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (LKMM-TD) Himpunan Mashasiswa Statistika (HIMASTA ) ITS yang diadakan tanggal 13-15 November 2009 di T102. Pelatihan ini merupakan lanjutan dari LKMM Pra TD FMIPA yang diadakan saat masih semester 1. Dengan berbekal niat dan do'a, ke-29 mahasiswa yang terdiri dari Prodi S1 dan D3 ini antusias mengikuti serangkaian acara TD, materi demi materi disampaikan oleh Pemandu yang notabene bergaya unik dan mempu mengangkat gairah peserta. Untuk menyegarkan pikiran peserta yang penat akibat terus menerus digenjot materi, para Fasilitator (Zay dkk) memberikan Ice Breaking berupa permainan yang kreatif.
Tim pemandu Himasta turut mengundang Pembicara dan pemandu luar agar peserta tidak jenuh, di antaranya Helmi (Tekfis), Essa (Teknik Mesin), Ersyad (Presiden BEM ITS), dan Adipuja dari UGM (Sekjen IHMSI). Untuk dosen kita mengundang Pak Daniel M Rosyid (penasehat pendidikan Jawa Timur) untuk mengisi materi Motivasi dan Pak Arie Kismanto untuk mengisi materi Teknik Negosiasi. Yang sedikit spesial tentu saja materi yang disampaikan oleh mas Adipuja. Beliau memberikan wawasan tentang Ikatan Himpunan Mahasiswa Statistika Indonesia (IHMSI). Jauh-jauh dari Jogja hanya untuk memberikan ilmu bahwa kita sebagai Mahasiswa Statistika memiliki sebuah tempat, forum atau lembaga yang dapat menyatukan pemikiran-pemikiran kita dengan rekan-rekan kita sesama jurusan di Perguruan Tinggi lain.
Hal yang tidak boleh dilupakan, suksesnya penyelenggaraan TD ini tidak lepas dari Peran Tim Pemandu Himasta yang dikomandoni Mbak Aliya, yang telah memikirkan konsep 1,5 bulan sebelum TD. Dan juga OC yang mempersiapkan segala perlengkapan, akomodasi dan semua fasilitas untuk kegiatan ini. Semoga kerja keras mereka bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh semua peserta, sehingga tujuan awal TD untuk melatih Manajemen Kegiatan dapat terwujud.


pak Daniel M Rosyied saat memberikan materi motivasi

Presiden BEM ITS (Ersyad) saat memberikan materi mengenai KM ITS

dari kiri : kahima statistika ITS, Sekjend IHMSI (Adipuja) dan Presiden BEM ITS (Ersyad) saat waktu rehat disela-sela materi

thx to all elemen panitia buat kerja kerasnya






Senin, 07 Desember 2009

Resiko Berbisnis di Indonesia

Memilih berbisnis, tentu paham dengan resiko yang musti dihadapi. Khususnya ketika berbisnis di Indonesia. Materi ini dikupas dalam dialog inspirasi Kresnayana Yahya, di Radio Suara Surabaya, 4 Desember 2009.

Pemerintah baru yang belum genap 100 hari kerja terus dihadapkan pada persoalan politis yang cukup pelik, apakah hal ini juga merupakan kendala berbisnis, demikian pertanyaan pembuka dari Isa Anshori, penyiar Radio Suara Surabaya.

Persoalan yang terjadi sekarang merupakan salah satu resiko yang sangat berat, karena barang yang harusnya lancar di masyarakat terhambat dengan birokrasi, adanya delay decision. Saat ini pebisnis sedang merancang untuk tahun 2010. Di mana mereka butuh panduan, tentang arahan dan resiko. Pebisnis dapat gagal sebelum mulai karena tidak adanya panduan.

Persoalan politik di pusat yang makin tidak cepat diselesaikan akan berimbas ke daerah. Apalagi apabila dengan adanya APBD yang belum disahkan. Perencanaan swasta menjadi terhambat karena kurang siapnya infrastruktur atau minimal informasi tentang perkembangan infrastruktur. Sehingga persoalan politik yang timbul di pusat maupun daerah hendaknya tidak mengorbankan kepentingan rakyat.

Patut dicermati adalah dominasi pertumbuhan ekonomi saat ini yang tumbuh bukan di sektor riil merupakan pertumbuhan ekonomi semu. Pasar finansial lebih attractive, namun membuat barang yang diperdagangkan makin sedikit. Sehingga sektor riil tidak maju.

Ekonomi tampak bagus, namun serapan tenaga kerja tidak tinggi, pendapatan sektor informal tidak tinggi dan mengalirnya uang ke pedesaan tidak terjadi

Ekonomi kelihatan tumbuh, namun bukan sektor riil. Ekonomi tampak bagus, namun serapan tenaga kerja tidak tinggi, pendapatan sektor informal tidak tinggi dan mengalirnya uang ke pedesaan tidak terjadi. Sehingga pertumbuhan ekonomi ini tidak seiring dengan tumbuhnya kesejahteraan.

Kebijakan pemerintah SBI 6.25 %, di mana dibandingkan dengan negara tetangga masih cukup tinggi, dan dikeluarkannya medium term note. Hal ini bagus untuk menjaga stabilitas, namun hal yg ditawarkan membuat cenderung bermain di pasar finansial. Terlebih apabila investasi di pabrik sulit mencapai keuntungan 10 - 11 %. ini berdampak serius, karena menghambat produksi barang. Sektor riil dikorbankan karena dialihkan ke pasar finansial. Padahal kebutuhan kita sekarang ini tiap tahun dengan kelahiran per tahun mencapai 5 juta orang, dan tenaga kerja di atas usia 15 tahun naik 1.5 - 2 juta orang per tahun.

Juga masih adanya ketimpangan, di mana cuman 90 ribu orang yang punya kekayaan diatas 10 M, sehingga bisnis ditangan segelintir orang. Resiko sudah ada didepan, namun bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi.

Setiap pebisnis harus makin sadar informasi.



Salah satu yg paling awal dalam menghadapi resiko berbisnis, setiap pebisnis harus makin sadar informasi. Cepat mencari, cepat menggali, menganalisa dan cepat membangun knowldge. Diperlukan kepandaian dan kecerdasasan berhitung. Apabila dulu konsumen kita dominan pada usia 40 th keatas, sekarang pasar kita yg dominan dibawah 35 tahun. Hal ini tentu membuat strategi bisnis harus dipandu dengan informasi. (unung@enciety.com)

Kresnayana Yahya, chairperson Enciety Business Consult

enciety.com





Minggu, 06 Desember 2009

KREATIVITAS SEMOGA 'GAK ADA MATINYE'

VIRUS kreativitas tahun ini telah disebarkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono guna menumbuhkan ekonomi kreatif. Sayang memang, selama ini apresiasi kepada sang penemu atau pencipta atas ciptaannya (hak kekayaan intelektual) belum sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh manakala temuan atau ciptaan sang kreator diwujudkan dalam aktivitas bisnis.























Fakta tidak bisa dimungkiri, sebagaimana sering diungkapkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kontribusi industri kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lumayan besar, mencapai 7 persen yang kalau dirupiahkan lebih dari Rp 100 triliun! Pada periode 2002-2006 saja, industri "karya cipta" itu telah memberikan sumbangan Rp 104 triliun (6,3 persen) dari total nilai PDB nasional.

Nilai itu akan berskala lebih besar menjadi 8 persen jika kontribusi yang bersumber dari ekonomi kreatif rumah tangga dan industri mikro dimasukkan.

Industri kreatif juga telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi 4,5 juta tenaga kerja. Masih menurut Elka Pangestu, jika industri kreatif rumahan dan industri kecil dimasukkan,kreativitas para pencipta itu telah menyerap sedikitnya 7,4 juta orang tenaga kerja. Jumlah tersebut, belum termasuk mereka yang selama ini bergelut di industri musik, film dan games. Pasalnya, kreativitas seni terakhir ini bukan berbentuk apa yang disebut Menteri Perdagangan sebagai barang nyata.

Karena terbukti telah memberikan kontribusi bagi PDB dan penciptaan lapangan kerja, bisa dipahami jika pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono lantas berusaha mengkonkretkan tagline kampanyenya “lanjutkan” untuk urusan kreativitas ini dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 dan menetapkan tahun 2010-2025 sebagai tahun ekonomi kreatif.

Melalui Inpres Nomor 6 itu, SBY memerintahkan kepada para menteri, kepala lembaga pemerintah nondepartemen, dan para gubernur, bupati dan walikota antara lain untuk:

1. Mendukung kebijakan pengembangan ekonomi kreatif, yaitu kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu, dengan maksud untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu, meliputi 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video-film-dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan.

2. Mengambil langkah-langkah nyata yang diperlukan sesuai bidang tugasnya secara optimal untuk mencapai sasaran pengembangan ekonomi kreatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja, memberantas kemiskinan, dan memeratakan pembangunan, misalnya dengan membentuk kelompok kerja yang keanggotaannya terdiri dari pejabat Kementerian/Lembaga, dan unsur lain.

3. Melakukan upaya secara proaktif pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia dengan kreativitas, keterampilan, dan bakat individunya untuk pengembangan ekonomi kreatif.

Lewat Inpres itu, secara khusus Presiden juga memerintahkan kepada Menteri Perdagangan untuk menyiapkan informasi yang lengkap di bidang pengembangan ekonomi kreatif; melakukan kajian tentang kurikulum berorientasi kreativitas dan pembentukan entrepreneurship terhadap tumbuhnya kreativitas anak didik, dan melakukan revisi sesuai kebutuhan; meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat lewat kurikulum yang berorientasi kreativitas dan pembentukan jiwa kewirausahaan.

Bukan cuma itu, Menteri Perdagangan juga diperintahkan untuk memberikan dukungan kepada insan kreatif berbakat yang mendapat kesempatan di dunia internasional; memberikan dukungan pada kegiatan dan organisasi seni budaya dan iptek yang berperan dalam industri kreatif; menyelenggarakan acara dan program yang menggali, mengangkat, dan mempromosikan talenta kreatif yang ada di masyarakat; dan membangun mekanisme kemitraan antara insan kreatif terkemuka dan yang potensial untuk dikembangkan lewat proses mentoring.

Nah, ini yang penting. Inpres itu juga memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mendukung para entrepreneur kreatif yang membutuhkan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha, baik dari aspek permodalan, perizinan, maupun pemasaran.

Masih banyak poin penting lain terdapat dalam Inpres No 6 Tahun 2009 yang intinya industri kreatif – termasuk para pencipta – diharapkan semakin berkembang, sehingga karya mereka jika diekonomikan dapat menopang ekonomi negara.

Buku Terbuka

Inpres telah diteken. Inpres No 6 Tahun 2009 ini sekaligus berfungsi sebagai buku yang terus terbuka yang boleh dibaca oleh siapa saja, khususnya para pelaku ekonomi kreatif. Kewajiban kita bersama untuk menjadikan Inpres itu sebagai tools sekaligus alat kontrol.

Dalam waktu dekat, industri kreatif, khususnya dunia pertelevisian akan semakin berkembang seiring dengan kewajiban bagi industri televisi yang sekarang bersiaran nasional untuk memiliki mitra lokal di daerah pada Desember tahun ini.

Tahun 2010, televisi digital juga bakal semakin marak. Sangat mungkin, tahun depan akan muncul puluhan, bahkan ratusan stasiun televisi baru seiring dengan diterapkannya teknologi digital.

Industri televisi jelas membutuhkan program atau konten acara yang layak jual dan mengundang industri kreatif lain, seperti periklanan, seni, teknologi informasi dan sebagainya menjadi sebuah kerumunan atau crowd. Benar, seperti yang pernah dilaporkan majalah Time tahun lalu, para individulah yang memegang peran penting. Facebook, Twitter, Flickr, Google tidak ada apa-apanya jika tidak ada manusia yang kreatif mengisi dengan konten berupa artikel atau informasi-informasi.

Dalam konteks dengan industri kreatif, para teknopreneur-lah yang bakal mendulang sukses, karena merekalah yang akan memainkan peran utama.

Industri televisi digital tidak akan mampu bersiaran jika tidak ada manusia-manusia kreatif yang menawarkan konten berikut teknologi pendukungnya. Industri periklanan tidak mampu menghidupi dirinya jika tidak ada manusia-manusia kreatif pada sektor-sektor yang berbeda.

Ke depan, mereka harus saling bersinergi. Agar bisa sama-sama eksis dan saling mengembangkan diri, di antara mereka, ibarat bus kota sebaiknya tidak saling mendahului; apalagi mau menang sendiri. Untuk ini diperlukan pengertian, terutama terhadap hasil karya cipta seorang kreator.

Harap maklum, dalam soal beginian sebagaimana awal tulisan ini, peran seorang kreator sering dilupakan dan dianggap bukan apa-apa. Contoh paling aktual adalah penghargaan terhadap pencipta lagu di industri telekomunikasi (ring back tone misalnya). Para operator telepon seluler masih menganggap dirinya sebagai “penguasa tunggal” yang berhak atas penentuan bagi hasil. Repotnya, mereka selalu mematok jatah 50 persen, bahkan lebih. Sedangkan sang pencipta lagu hanya kebagian tidak lebih dari 10 persen.

Hal serupa juga berlaku manakala para operator mengadakan perjanjian dengan content provider dan penulis buku untuk program mobile book. Para operator belum apa-apa sudah meminta haknya sebesar 50 persen; sementara 50 persen lainnya dibagi-bagi untuk penulis buku, agensi, content provider, dan biaya promosi. Padahal kreativitas sang penulis mobile book telah mampu menghidupi tidak saja operator telepon, tapi juga pihak-pihak lain.

Para pelaku kreativitas tentunya berharap Inpres No 6 Tahun 2009 dapat menjadi penyelamat. Dalam butir 27 Inpres itu, kepada Menteri Perdagangan, Presiden memerintahkan agar memberikan apresiasi/penghargaan kepada insan kreatif secara berkesinambungan. Dalam poin lainnya, Inpres juga mengatur agar pihak-pihak terkait menyusun dan mengimplementasikan kebijakan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) secara konsisten, efisien, dan mengedepankan muatan ekonomi di dalam HKI.

“Mantapkan landasan interaksi bisnis antara perusahaan dengan individu-individu kreatif berupa standar kontrak bisnis yang menghargai HKI (sistem royalti, pencegahan, plagiat dan lain-lain),” bunyi lain dari Inpres tersebut.

Meskipun tidak mengatur besaran prosentasenya dalam kontrak bisnis, semoga Inpres No 6 Tahun 2009 bisa menjadi juru selamat bagi para individu kreatif, sehingga teknopreneur di era teknologi informasi komunikasi ini dapat terus eksis dan tumbuh mengisi ekonomi kreatif yang telah dicanangkan bersama.

Semoga pula kreativitas para individu kreatif (meminjam istilah Betawi), “nggak pernah ade matinye.” ***


Catatan Gantyo Koespradono




Free counters



Kamis, 03 Desember 2009

Matematika, Air dan Tawuran

Hari ini, pukul 13.00 wib, saya disuruh ceramah matematika di Kampus Pusat ITB Sayap Timur. Tema keseluruhan acara 2 jam itu beauty of mathematics. Saya kebagian subtopik how would Picasso look at math.

Bakal kayak apa matematika di mata pelukis, atau katakanlah dari alam kesenian? Mungkin begini, matematika yang sesungguhnya bukan cuma urusan hitung-menghitung akan seindah kesenian. Tepatnya, kesenian matang.

Maksud saya, matematika yang selama ini disalahtafsirkan sebatas cuma urusan kalkulasi, sebetulnya sama indahnya dengan kesenian yang sudah mencapai puncak keindahan. Keindahannya bukan karena penuh warna, meriah, penuh gejolak. Keindahannya tercapai justru karena kesederhanaan.

Hanya seniman yang telah dewasa yang sanggup menyajikan hal sederhana namun indah. Kedewasaan itu bisa lantaran perjalanan usia. Bisa pula senimannya masih belia, namun umurnya pejal dan dimampatkan oleh pahit-getir dunia.

Ia dewasa lantaran sanggup mengendapkan seluruh pengalaman batinnya. Responnya terhadap duka-lara tak lagi bergejolak di permukaan. Ia bisa sederhana, lantaran yang ia ekspresikan sebagai karya seni buat sesama bukan semesta endapan penghayatan hidup, melainkan cuma sari patinya.

Kalau ia penyair, kalimat-kalimatnya akan tampak biasa-biasa saja (namun kalau direnungkan indah). Kalau dia pemusik, nada-nadanya seakan semua orang bisa bikin (tapi ternyata ketika dicoba tak semua orang mampu). Kalau dia penari, perpindahan dan gerak badannya tidak penuh akrobatik (namun terasa amat menggerakkan batin para pemirsa).

Kalau dia pelukis, kalau dia orang yang hidup dari garis, bentuk dan warna bagai Picasso, maka garis-warna-bentuk-nya akan tidak indah pada pandangan pertama. Namun memukau pada akhirnya, jika seseorang rela mulai seksama memperhatikannya.

Demikian pula dengan keindahan matematika. Keindahannya tidak hangat, apalagi bergejolak laksana warna-warni es krim. Keindahannya bagai gunung tampak dari kejauhan. Filsuf Bertrand Russel menyebut “keindahan yang dingin”.

Adalah “keindahan yang dingin” manakala dalam matematika kita menemukan persamaan dari puluhan bahkan ratusan pertidaksamaan. Adalah “keindahan yang dingin” manakala kita temukan endapan persamaan singkat macam dalil Phytagoras, dari sekian rumus-rumus persamaan yang muncul dalam bangun segitiga.

Adalah “keindahan yang dingin” manakala pas hari ulang tahun Ibu, sang suami tidak kasih bunga, tak juga ngajak nginap dan makan entah di mana, tapi di luar dugaan cuma menepuk-nepuk pundak Ibu dengan ketulusan yang amat mendasar, dan tanpa kata-kata.

***

Banyak keluhan dari Ibu-ibu menyangkut matematika. Tak jarang malah alergi terhadap matematika. Apalagi kalau harus menghubungkan kemampuan matematika putra-putrinya dengan kemampuan mereka di bidang lain seperti melukis, menyanyi, berpuisi, main teater, menari dan lain-lain.

Mestinya ada hubungan lurus antara kemampuan anak bermatematika dan kemampuan anak berkesenian. Studi dan survei tentang hal itu malah tak kurang-kurang. Bahkan sejak 1990 banyak studi menyatakan kemampuan matematika warga negara berbanding lurus dengan kemajuan negaranya.

Ibu-ibu jadi banyak mengeluh ikhwal matematika, menurut saya, karena matematika diperkenalkan secara agak keliru cuma sebagai urusan angka dan hitung-menghitung. Padahal, bagi saya, matematika itu tak lain adalah bahasa juga.

Matematika adalah cara lain buat kita ngomong atau berkomunikasi, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Satu ditambah satu sama dengan dua, dalam bahasa matematika adalah 1+1=2. Garis tegak dalam sebuah segitiga siku-siku dibagi garis alas, dalam bahasa matematika adalah “tangent”. Dan lain sebagainya.

Jadi, sesungguhnya, di dunia ini selain ada bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Madura, bahasa Spanyol dan sebagainya, ada juga bahasa matematika. Kalau mau lengkap, masih ada bahasa matematika selain bahasa gambar, bahasa gerak, bahasa musik. Dan lain sebagainya.

Bedanya, bahasa matematika, karena penuh simbol, maka lebih singkat. Bedanya, karena simbol-simbolnya tidak bermakna ganda, bahasa matematika lebih konsisten. Dan latihan matematika sepanjang pengalaman saya adalah senam terbaik untuk menjaga sikap konsisten.

Dalam bahasa Indonesia, “laba” itu “untung”. Tapi “laba-laba” bukanlah “untung-untung”. Mendadak itu jadi nama binatang. Sama halnya “kuda-kuda” bukanlah lebih daripada 2 “kuda”, tapi sebuah sikap ancang-ancang dalam kancah persilatan.

***

Ibu-ibu menyangka matematika itu ilmu pasti? Maaf, kalau betul begitu, berarti Ibu-ibu juga korban salah dididik matematika dulu waktu sekolah. Matematika itu seperti kesenian juga lho, banyak nggak pastinya. Matematika hanya melatih kita buat taat pada kesepakatan.

Satu tambah satu belum pasti dua. Mereka hanya boleh jadi “2” kalau kita sepakat sedang bicara dalam sistem bilangan persepuluhan. Kalau kita setuju mengubah kesepakatan dari bilangan persepuluhan menjadi bilangan biner yang cuma kenal “0” dan “1”, maka 1+1=0.

Tak terlatih berbahasa (di luar matematika) dengan baik, kita akan sering tawuran seperti yang belakangan melanda Medan, Cirebon, Palu, Maluku, Palopo dan lain-lain. Tak terlatih berbahasa matematika dengan baik, kita akan kurang menghargai kesepakatan. Misalnya telah kita sepakat melalui dasar negara bahwa air dikuasai oleh negara, tapi nyatanya dikuasai oleh asing. Belum batu bara, emas dan lain-lain…


(ditulis oleh sujiwo tejo. Dimuat di harian Sindo, tanggal 23 November 2007)





Free counters