Bisa memasuki sebuah perguruan tinggi (PT) dan merasakan yang namanya kuliah barangkali menjadi impian sebagian besar anak muda yang baru saja “menanggalkan“ seragam sekolah SMA-nya. Mereka begitu mendambakan sebuah label yang namanya “mahasiswa“, sebuah atribut baru yang bisa memberikan kebanggaan tersendiri bagi siapa yang menyandangnya. Terlebih setelah kejadian 1998 silam, peran mahasiswa begitu nampak disana dan menjadikan sosok mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang patut diperhitungkan keberadaannya... Untuk mendapatkan atribut sebagai mahasiswa ini, berbagai macam cara dan usaha dilakukan, mulai dari harus datang ke bimbel dan melek-an tiap hari menjelang ujian, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berani bayar mahal (atau bahkan muuahal) setelah berbagai upaya gagal membuahkan hasil untuk bisa menyandang status mahasiswa.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya, seorang mahasiswa baru akan mulai berinteraksi dengan kehidupan kampus termasuk dengan senior-seniornya di jurusan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas panjang lebar tentang bagaimana seorang mahasiswa bisa survive di kehidupan barunya, tetapi lebih pada memberikan wawasan baru yang sedikit beda tentang kehidupan kemahasiswaan di luar negeri. Sebagai contahnya adalah dua universitas LN, di Jerman dan di Canada. Harapannya, setelah membaca tulisan ini, kita bisa mengambil sisi positif dari apa yang akan diuraikan di sini. Lebih lanjut barangkali perlu untuk diketahui apa saja yang membedakan mereka dengan kita (mahasiswa di Indonesia). –process oriented-- , dan mereka bisa apa sih? –output oriented--. Dalam hal ini, perlu di garis bawahi bahwa proses yang beda tentunya akan memberikan output yang berbeda pula, tidak seperti matematika atau statistika, yang mana serangkaian data apabila diolah pake MINITAB atau SPSS hasilnya bisa sama.. (agak-agak tidak nyambung nih rupanya!)..
Well, kita mulai saja dengan mengintip mahasiswa-mahasiswa di Jerman. Content dari tulisan ini diambil berdasarkan pengamatan pada dua atau lebih universitas di sana, dan sangat mewakili kehidupan kemahasiswaan secara umum di Jerman. Jerman mempunyai sistem pendidikan yang berbeda dengan Indonesia (konteksnya adalah undergraduate level). Yang jelas, sistem pendidikan yang berbeda ini menjadikan aktivitas atau kehidupan kemahasiswaannya berbeda pula. Disana, seorang mahasiswa baru pada awalnya tidak langsung terkelompok ke dalam satu jurusan sebagaimana di kita. Yang ada adalah mereka terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas X, bukan di jurusan Y. Proses penjurusan dilakukan dibeberapa tahap akhir, dimana mahasiswa bebas menentukan pilihannya sendiri dengan hanya mengambil 4 atau 5 mata kuliah inti. Awalnya, begitu mereka diterima sebagai mahasiswa, mereka mengalami proses yang sama layaknya di Indonesia yaitu ada semacam pembekalan dari fakultas dan uni, yang beda adalah mahasiswa baru di sana tidak akan menemukan senior-seniornya “yang serem-serem”, atau harus datang ke kampus tiap weekend untuk “training mental”.. (pengkaderan jurusan maksudnya).
Saat-saat mengikuti kuliah adalah saat untuk mengetahui siapa-siapa mahasiswa yang sedang berjalan di atas rel yang sama dengan mereka. Selebihnya “nichts“ dalam bahasa jerman, yang artinya kira-kira tidak ada sama sekali. Bagaimana tidak, karena tidak ada jurusan dan mahasiswanya juga cuek (atau mandiri ya), tentu tidak ada yang namanya HIMA jurusan (dan tentunya tidak ada yang namanya BCS (Bina Cinta Statistika) dan sejenisnya). Sekali lagi, mahasiswa baru tidak akan mau di atur-atur oleh seniornya, dan senior juga tidak merasa berkepentingan untuk mengatur atau peduli dengan mahasiswa baru, dengan pertimbangan bahwa mahasiswa baru itu sudah dianggap sebagai pribadi yang dewasa. Perlu diketahui, universitas-universitas di Jerman adalah intenational university yang mahasiswanya datang dari berbagai penjuru dunia. Bisa dibayangkan seandainya ada semacam BCS disana, pola seperti apa yang harus di jalankan? Mungkin kita yang di Indonesia sudah harus memikirkan juga masalah ini (yang katanya mau Go Internasional) , seandainya ada mahasiswa asing masuk jurusan kita, apakah BCS atau pengkaderannya masih akan tetap sama seperti itu (Red: jamannya penulis)?? Sepertinya ini hal kecil, tapi permasalahannya tidak akan sesederhana itu. Mahasiswa asing jauh-jauh datang untuk mencari tempat terbaik menuntut ilmu, mendambakan tempat dan suasana belajar yang nyaman, karakternya beda dengan kita, maka berapa probability-nya dia akan tetap bertahan di tempat kita seandainya harus mengikuti rangkaian acara pengkaderan seperti beberapa tahun lalu? (Disini sengaja tidak ditulis “seperti tahun ini” karena penulis tidak sepenuhnya tahu yang sedang berjalan sekarang seperti apa, bisa jadi tidak sama).
Terlepas dari itu semua, wadah bagi mereka yang ingin meyalurkan bakat ber-organisasi atau bakat-bakat yang lainnya tetap tersedia. Di sana tidak ada yang namanya BEM.. Yang ada adalah senat mahasiswa fakultas, yang mana posisi itu diisi oleh mahasiswa-mahasiswa yang over-talented dengan kemampuan berdiplomasi yang bagus, dan mereka dipilih langsung oleh mahasiswa-mahasiswa di lingkungan fakultasnya. Jika ada permasalahan yang sifatnya general dan melibatkan seluruh mahasiswa di universitas seperti boikot pembayaran SPP, mereka dari masing-masing fakultas akan berkumpul untuk membahas dan merumuskan semuanya. Memang disini ujung-unjungnya perannya seperti BEM di kampus-kampus Indonesia. Selebihnya, yang ada disana adalah perkumpulan mahasiswa untuk mengasah bakat, semacam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) kalau di ITS. Dan ini dikelola dengan sangat profeisonal sehingga benar-benar menunjang karir mahasiswa itu nantinya. Ambil contoh UK marketing untuk yang mau berlatih manajemen dan marketing, orang-orangnya sangat pro-aktif, sehingga bisa menjadi UK yang bisa diandalkan untuk menyelenggarakan event-event besar dan menghandle proyek perusahaan yang berhubungan dengan marketing. Kemudian IAESEC (kalau yang ini di beberapa PT di Indonesia ada juga) yang sangat hidup, bagi yang suka berinteraksi dengan mahasiswa asing (intercultural), dan masih banyak lagi... Tentunya keberhasilan mereka karena sangat didukung pula oleh pihak birokrasi fakultas dan universitas.
Seperti yang sudah diutarakan di atas, mahasiswa-mahasiswa disana memang mandiri. Meraka sangat fleksible menentukan pilihannya. Ada yang memilih aktif di tempat-tempat tersebut di atas, ada yang lebih memilih menjadi Hiwi (asisten penelitian/asisten profesor). Kalau yang satu ini, bener-bener dipilih mahasiswa yang jagoan (dalam kelilmuan dan komunikasi). Tak jarang pula hiwi-hiwi itu adalah anggota senat mahasiswa juga. Walhasil, mahasiswa yang jadi hiwi relatif lebih mudah mendapatkan job setelah lulus. Ada mahasiswa yang sukanya party, duduk-duduk di cafe bareng teman-temannya, ada juga yang menyendiri seperti tidak punya teman, tapi jarang yang kelihatan suka mbebek atau tidak punya pendirian. Untuk mengisi liburan, tidak jarang mahasiswa yang melakukan internship (magang) di perusahaan-perusahaan dan ini sangat menguntungkan sekali buat mereka. Tidaklah menjadi hal sulit bagi mereka untuk mencari tempat internship. Lagi-lagi, ini karena dari pihak universitas/fakultas sangat proaktiv menjalin kerjasama dengan company dan pihak company sendiri sangat welcome terhadap mahasiswa yang mau belajar sesuatu yang baru. Jadi sinergi antara beberapa pihak perannya sangat penting.
Mahasiswa di sana juga terlihat mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Seperti tidak pernah ada nervous-nervousnya dalam hal apapun. Mau presentasi… mantep!! (Pakai pakaian ala eksekutif muda siap dengan laptopnya). Mau ngobrol sama profesor, siapa takut…!! Ceplas-ceplos saja (tapi bukan berarti tanpa adab), seringnya malah mahasiswa dan profesor makan siang bareng, ketemu di kantin, dan tidak ada gap sama sekali. Kita yang tidak terbiasa dengan culture seperti ini, akan sangat terheran-heran. Barangkali ini juga yang membedakan mereka dengan kita. Di kita, kalau ketemu dosen atau profesor... tahu sendiri tingkahnya mahasiswa seperti apa, ada yang menunduk malu, ada yang menunduk sopan, ada yang pura-pura tidak lihat, ada yang langsung action buka buku, macem-macem pokoknya.. Entahlah apakah ini kebiasaan yang bagus atau malah sebaliknya.
Kembali ke kehidupan kemahasiswaan di Jerman, semua universitas mempunyai satu biro namanya AstA (Der Allgemeine Studierenden Ausschuss). Biro ini berisi orang-orang universitas dan dibentuk khusus menangani masalah-masalah kemahasiswaan. Segala permasalahan yang ada di mahasiswa yang hubungannya dengan birokrasi universitas, akan dibicarakan dulu dengan AsTA. Namun, bukan berarti karena biro ini dibentuk oleh universitas, kemudian mereka akan selalu berpihak pada kepentingan uni. Tidak, di jerman segala sesuatu berjalan sesuai koridor dan profesional. Kalau memang ide atau tuntutan mahasiswa masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan, AstA siap membantu dan mendukung. Intinya, biro ini sangat netral keberadaannya. Sebagai contoh permasalahan boikot SPP di atas, peran AstA begitu besar demi kesuksesan tuntutan mahasiswa ini, yang mana mereka membantu menyiapkan flyer, mengkoordinir penyebaran dan pengumpulan kuisioner, dll. Barangkali juga karena negaranya sudah maju, permasalahan yang timbul di mahasiswa tidak sebanyak di kita, sehingga jarang sekali ada gesekan-gesekan antara birokrasi dengan mahasiswa.
Lain benua, lain pula polanya. Di Canada, yang notabene adalah bagian dari Benua Amerika, sistem pendidikannya hampir sama dengan di Indonesia. Ada yang namanya Fakultas yang di bawahnya terdiri dari jurusan-jurusan. Bisa ditebak, yang terjadi adalah terdapat kumpulan-kumpulan mahasiswa jurusan. Ini bisa dilihat dengan jelas di salah satu kampus, di depan pintu masuk gedung dimana ada beberapa gerombolan mahasiswa (yang sedang asyik diskusi dengan buku-buku berserakan di meja besar---ternyata mereka lagi belajar juga-----) dengan atribut mereka yang mencolok. Katakanlah mahasiswa Physics dengan kaos hijau kebanggaannya, mahasiswa chemie dengan kaos birunya, dan macam-macam. Tapi tetap, yang namanya orang barat tetap orang barat… sama cueknya dengan orang Jerman. Mereka tidak akan mau memaksa atau melakukan sesuatu untuk junior di jurusannya untuk bergabung dengan mereka, apalagi harus susah payah mikir agenda mingguan. Kalau mau silahkan datang dan ikut, kalau tidak ya silahkan juga....
Semoga ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini. Perlu diingat, ini hanya gambaran sebagai wacana baru saja, bukan dimaksudkan untuk mengintervensi apa-apa yang sudah dan sedang teman-teman di Indonesia lakukan. Masing-masing punya cara sendiri untuk mencapai tujuan, dan selama semua dijalankan dengan ikhlas untuk kebaikan, InsyaALLAH hasilnya akan maksimal...
Dr. Heri Kuswanto
Postdoctoral Research Associate
Department of Mathematics and Statistics
Laval University, QC Canada