
Fakta tidak bisa dimungkiri, sebagaimana sering diungkapkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kontribusi industri kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lumayan besar, mencapai 7 persen yang kalau dirupiahkan lebih dari Rp 100 triliun! Pada periode 2002-2006 saja, industri "karya cipta" itu telah memberikan sumbangan Rp 104 triliun (6,3 persen) dari total nilai PDB nasional.
Nilai itu akan berskala lebih besar menjadi 8 persen jika kontribusi yang bersumber dari ekonomi kreatif rumah tangga dan industri mikro dimasukkan.
Industri kreatif juga telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi 4,5 juta tenaga kerja. Masih menurut Elka Pangestu, jika industri kreatif rumahan dan industri kecil dimasukkan,kreativitas para pencipta itu telah menyerap sedikitnya 7,4 juta orang tenaga kerja. Jumlah tersebut, belum termasuk mereka yang selama ini bergelut di industri musik, film dan games. Pasalnya, kreativitas seni terakhir ini bukan berbentuk apa yang disebut Menteri Perdagangan sebagai barang nyata.
Karena terbukti telah memberikan kontribusi bagi PDB dan penciptaan lapangan kerja, bisa dipahami jika pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono lantas berusaha mengkonkretkan tagline kampanyenya “lanjutkan” untuk urusan kreativitas ini dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 dan menetapkan tahun 2010-2025 sebagai tahun ekonomi kreatif.
Melalui Inpres Nomor 6 itu, SBY memerintahkan kepada para menteri, kepala lembaga pemerintah nondepartemen, dan para gubernur, bupati dan walikota antara lain untuk:
1. Mendukung kebijakan pengembangan ekonomi kreatif, yaitu kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu, dengan maksud untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu, meliputi 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video-film-dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan.
2. Mengambil langkah-langkah nyata yang diperlukan sesuai bidang tugasnya secara optimal untuk mencapai sasaran pengembangan ekonomi kreatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja, memberantas kemiskinan, dan memeratakan pembangunan, misalnya dengan membentuk kelompok kerja yang keanggotaannya terdiri dari pejabat Kementerian/Lembaga, dan unsur lain.
3. Melakukan upaya secara proaktif pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia dengan kreativitas, keterampilan, dan bakat individunya untuk pengembangan ekonomi kreatif.
Lewat Inpres itu, secara khusus Presiden juga memerintahkan kepada Menteri Perdagangan untuk menyiapkan informasi yang lengkap di bidang pengembangan ekonomi kreatif; melakukan kajian tentang kurikulum berorientasi kreativitas dan pembentukan entrepreneurship terhadap tumbuhnya kreativitas anak didik, dan melakukan revisi sesuai kebutuhan; meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat lewat kurikulum yang berorientasi kreativitas dan pembentukan jiwa kewirausahaan.
Bukan cuma itu, Menteri Perdagangan juga diperintahkan untuk memberikan dukungan kepada insan kreatif berbakat yang mendapat kesempatan di dunia internasional; memberikan dukungan pada kegiatan dan organisasi seni budaya dan iptek yang berperan dalam industri kreatif; menyelenggarakan acara dan program yang menggali, mengangkat, dan mempromosikan talenta kreatif yang ada di masyarakat; dan membangun mekanisme kemitraan antara insan kreatif terkemuka dan yang potensial untuk dikembangkan lewat proses mentoring.
Nah, ini yang penting. Inpres itu juga memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mendukung para entrepreneur kreatif yang membutuhkan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha, baik dari aspek permodalan, perizinan, maupun pemasaran.
Masih banyak poin penting lain terdapat dalam Inpres No 6 Tahun 2009 yang intinya industri kreatif – termasuk para pencipta – diharapkan semakin berkembang, sehingga karya mereka jika diekonomikan dapat menopang ekonomi negara.
Buku Terbuka
Inpres telah diteken. Inpres No 6 Tahun 2009 ini sekaligus berfungsi sebagai buku yang terus terbuka yang boleh dibaca oleh siapa saja, khususnya para pelaku ekonomi kreatif. Kewajiban kita bersama untuk menjadikan Inpres itu sebagai tools sekaligus alat kontrol.
Dalam waktu dekat, industri kreatif, khususnya dunia pertelevisian akan semakin berkembang seiring dengan kewajiban bagi industri televisi yang sekarang bersiaran nasional untuk memiliki mitra lokal di daerah pada Desember tahun ini.
Tahun 2010, televisi digital juga bakal semakin marak. Sangat mungkin, tahun depan akan muncul puluhan, bahkan ratusan stasiun televisi baru seiring dengan diterapkannya teknologi digital.
Industri televisi jelas membutuhkan program atau konten acara yang layak jual dan mengundang industri kreatif lain, seperti periklanan, seni, teknologi informasi dan sebagainya menjadi sebuah kerumunan atau crowd. Benar, seperti yang pernah dilaporkan majalah Time tahun lalu, para individulah yang memegang peran penting. Facebook, Twitter, Flickr, Google tidak ada apa-apanya jika tidak ada manusia yang kreatif mengisi dengan konten berupa artikel atau informasi-informasi.
Dalam konteks dengan industri kreatif, para teknopreneur-lah yang bakal mendulang sukses, karena merekalah yang akan memainkan peran utama.
Industri televisi digital tidak akan mampu bersiaran jika tidak ada manusia-manusia kreatif yang menawarkan konten berikut teknologi pendukungnya. Industri periklanan tidak mampu menghidupi dirinya jika tidak ada manusia-manusia kreatif pada sektor-sektor yang berbeda.
Ke depan, mereka harus saling bersinergi. Agar bisa sama-sama eksis dan saling mengembangkan diri, di antara mereka, ibarat bus kota sebaiknya tidak saling mendahului; apalagi mau menang sendiri. Untuk ini diperlukan pengertian, terutama terhadap hasil karya cipta seorang kreator.
Harap maklum, dalam soal beginian sebagaimana awal tulisan ini, peran seorang kreator sering dilupakan dan dianggap bukan apa-apa. Contoh paling aktual adalah penghargaan terhadap pencipta lagu di industri telekomunikasi (ring back tone misalnya). Para operator telepon seluler masih menganggap dirinya sebagai “penguasa tunggal” yang berhak atas penentuan bagi hasil. Repotnya, mereka selalu mematok jatah 50 persen, bahkan lebih. Sedangkan sang pencipta lagu hanya kebagian tidak lebih dari 10 persen.
Hal serupa juga berlaku manakala para operator mengadakan perjanjian dengan content provider dan penulis buku untuk program mobile book. Para operator belum apa-apa sudah meminta haknya sebesar 50 persen; sementara 50 persen lainnya dibagi-bagi untuk penulis buku, agensi, content provider, dan biaya promosi. Padahal kreativitas sang penulis mobile book telah mampu menghidupi tidak saja operator telepon, tapi juga pihak-pihak lain.
Para pelaku kreativitas tentunya berharap Inpres No 6 Tahun 2009 dapat menjadi penyelamat. Dalam butir 27 Inpres itu, kepada Menteri Perdagangan, Presiden memerintahkan agar memberikan apresiasi/penghargaan kepada insan kreatif secara berkesinambungan. Dalam poin lainnya, Inpres juga mengatur agar pihak-pihak terkait menyusun dan mengimplementasikan kebijakan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) secara konsisten, efisien, dan mengedepankan muatan ekonomi di dalam HKI.
“Mantapkan landasan interaksi bisnis antara perusahaan dengan individu-individu kreatif berupa standar kontrak bisnis yang menghargai HKI (sistem royalti, pencegahan, plagiat dan lain-lain),” bunyi lain dari Inpres tersebut.
Meskipun tidak mengatur besaran prosentasenya dalam kontrak bisnis, semoga Inpres No 6 Tahun 2009 bisa menjadi juru selamat bagi para individu kreatif, sehingga teknopreneur di era teknologi informasi komunikasi ini dapat terus eksis dan tumbuh mengisi ekonomi kreatif yang telah dicanangkan bersama.
Semoga pula kreativitas para individu kreatif (meminjam istilah Betawi), “nggak pernah ade matinye.” ***
Catatan Gantyo Koespradono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar